Sabtu, 23 April 2011

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1.      Pengertian
Istilah manajemen berbasis sekolah berasal dan tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya ( peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang):
input manajemen terbagi atas tugas, rencana ,program. Limitasi damnterwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dan anak buah ke bapak/ ibu buah.
Berbasis berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan .dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik ( makro,meso, mikro) dan profesionalistik ( Kualifikasi, untuk sumber daya manusia, spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja)
Dan uraian tersebut dapat dirangkum bahwa “manajemen berbasis sekolah” adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisifatif). Catatan: Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orang tua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, dan wakil organisasi pendidikan.
Lebih ringkas lagi manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen
sekolah + pengambilan keputusan partisifatif.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan mereka tidak tergantung (undang-undang No. 22 Thn 1999 tentang Pemerintah Daerah). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “Swa “ misalnya swasembada, swakelola, swadana, Swakarya, swalayan dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tenth saja kemandirian yang dimaksud harus didukung sejumlah kemampuan yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cam pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan kemampuan antisifatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut “desentralisasi”. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah pendidikan dan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan pemerintah dati I ke Dati II, dan Dati II ke sekolah dan bahkan dan sekolah ke guru, tetapi hams tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama mi menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara “desentralistik” menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut; lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, unifornitas telah memasang kreativitas, dan tradisi serta seremoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah adalah merupakan esensi desentralisasi.
Menurut Bailey (1991) organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan


desentralisasi, maka: (1) Fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat “sedekat” mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggung jawaban terhadap masyarakat ( majelis sekolah, orang tua peserta didik, publik ) dan pemerintah meningkat; (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektifitasnya, kualitasnya, produktifitasnya, motivasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).
Pengambilan keputusan partisipatif (David !989 ) adalah suatu cara mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratif, dimana warga sekolah (Guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal mi dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan ( berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada” rasa memiliki “ terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya : makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya. Tentu saja penglibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdikasi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah, semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi di sekolah dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi sekolah.


2.      Hakikat Pemimpin
Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Menurut Stoner, (1988) semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pimpinan, akan makin besar potensi kepemimpinan yang efektif. Jenis pemimpin mi bermacam-macam, ac pemimpin formal, yaitu yang terjadi karena pemimpin bersandar pada wewenang formal. Ada pula pemimpin informal, yaitu terjadi karena: pemimpin tanpa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orag lain. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, kekuasaaan bersumber pada imbalan, paksaan, keahlian, acuan, hukum, kharisma kekuasan pribadi. Berdasarkan itu bawahan atau orang menerima atau tid: menerima atas segala sesuatu yang harus di lakukan.
Berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah kepemimpinan te. dilakukan. Perdekatan pertama, yaitu pendekatan sifat yang menifokus pada karakteristik pribadi pemimpin. Pendekatan kedua, yaitu pendeka: perilaku dalam hubungannya dengan bawahannya, Pendekatan keiga pendekatan situsional yang memfokuskan pada kesesuaianaku pemmpin dengan kara ktenisti k sinusoidal. pandangan si mengasumsikan bahwa kondisi yang menentukan efektivitas pemimpin
bervariasi menurut situasi, keterampilan dan harapan bawah:lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pernimpin dan bawahan.


1. Gaya Kepemimpinan otoriter / Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan dirinya sendiri secara penuh. Segala pembacaan tugas dan oleh pemimpin yang Otonter tersebut, sedangkan para  bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan
.
2. Gaya kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis ada(ah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikut sertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggungjawab para bawahnnya.

3. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat dalam kuantitas yang kecil d mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.

4. Gaya kepemimpinan partisifatif
            Gaya ini dipakai oleh mereka yang percaya bahwa cara untuk memotivasi orang-orang adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan

5. Gaya kepemimpinan Birokratis
Ini  adalah satu gaya yang ditanda dengan keterikatan yang terus-menerus kepada aturan-aturan organsasi. Gaya mi menganggap bahwa kesulitan-kesulitan akan dapat diatasi bila setiap orang mematuhi peraturan. Keputusan-keputusan dibuat berdasarkan prosedur-prosedur baku. Pemimpinnya adalah seorang diplomat dan tahu bagaimana memakai sebagian besar peraturan untuk membuat orang-orang melaksanakan tugasnya. Kompromi merupakan suatu jalan hidup karena untuk membuat satu keputusan diterima oleh mayoritas, orang sering harus mengalah kepada yang lain.
6. gaya kepemimpinan Permisif
Di sini keinginannya adalah membuat setiap orang dalam kelompok tersebut puas. Membuat orang-orang tetap senang adalah aturan mainnya. Gaya mi menganggap bahwa bila orang-orang merasa puas dengan din mereka sendiri dan orang lain, maka organisasi tersebut akan berfungsi dan dengan demikian, pekerjaan akan bisa diselesaikan. Koordinasi sering dikorbankan dalam gaya ini.

4. Teori kepemimpinan    
            Pendekatan sifat-sifat kepemimpinan
            Usaha yang pertama kali dilakukan oleh psikologi dan peneliti untuk memahami kepemimpinan yaitu mengenali karateristik atau ciri-ciri pemimpin yang berhasil. 



punya kecakapan mengajar penuh keyakinan punya keberanian ulet dan tahan uji suka melindungi penuh inisiatif memeliliki daya tank simpatik
percaya din intelegansi tinggi waspada bergairah dalam bekerja bertanggung jawab rendah hati objektif
Koontz O’Donnell
kecerdasan di atas yang dipimpin, punya perhatian terhadap
/ kepentingan menyeluruh, kelancaran berbicara, mantaf berpikir dan emosi dorongan pribadi, memahami pentingnya kerja sama.
Axifin Abdeolrachman ada tiga sifat pokok:
Sifat pokok I (umum) adil, suka melindungi, penuh inisiatif, daya tank, percaya din.
(7atpokok II : (khusus) karena berbeda tempat, niisalnya: seorang pemimpin di Amerika, Tnggris, Indonesia sifatsifatnya berlainan karena lingkungannya.
Sifat pokok III: (perbedaan jenis pekerjaan), misalnya: pemimpin pendidikan dengan pemimpin militer berlainan.
Apabila disimpulkan karaktenistik pemimpin berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka seorang pcmirnpin hartis memiliki:
Tentunya sifat-sifat itu sangat ideal dan tidak mungkin semua sifat di ‘tas dimiliki oleh seorang pemimpin, sebagian saja yang dimiliki dan elevan denga bidang kerja yang dipimpin termasuk kategori baik.
tan perilaku memandang bahwa kepemimpinan pola tingkah laku, dan bukan dan sifat-sifat (tiai Alasannya sifat seseorang relatif sukar untuk diidenikasi._ pandangan ahli, antara lain James Owen (1973) berkeyakift....., perilaku dapat dipelajari, hal mi berarti bahwa orang yang diIati
kepemimpinan yang tepat akan dapat memimpin secara
lamun demikian hasil penelitian telah membuktikan bahwa pelilak. kepemimpinan yang cocok dalam satu situasi belum tentu sesuai deng
situasi yang lain. Akan tetapi, memang perilaku kepemimpinan ml keefektifannya bergantung pada banyak variabel, kesimpulan penelitian membuktikan bahwa perilaku pemimpin tertentu adalah lebih efektif dibandingkan dengan dua aspek perilaku, yaitu fungsi dan gaya kepemimpinan. Robert F. Bales (Stoner, 1986) mengemukakan basil pL’nclitian, bahwa kebanyakan kelompok yang efcktif mempunyai bentuk kcpcrn i mpinan terhagi (sharc’cI leadership), umpamanya satu orang menjalankm Iungsi tugas, dan anggota lain melaksanakan fungsi sosial. Pembagian fungsi ml karena seseorang perhatian akan terfokus pada satu peran dan mengorbankan peran lainnya.


Sertifikasi Guru: • Guru yang Hebat
I Wayan Artika
UJ1 sertlilkasi guru kini berada di antara harapan dan ketidakmungldnan. Semua sertifikasi guru dianggap enteng-enteng saja. Kenyataannya, hingga saat in! rupanya ha! itu belum sepenuhnya berjalan, terutama disebabkan oleh kendala teknis.
Sejalan dengan itu, dl lapangan, guru-guru pada umumnya pesimistis karena untuk lobs uji sertifikasi ternyata tidak mudah. Siapakah rneceka yang pesimistis itu?
Mereka adalah guru-guru yang telah d;konstruksi “dalam mitos yang serba buruk” dalam profesi kependidikan dan kepengajaran di negara in!. Merekalah tipe guru kita yang senyatanya, yang diberi tugas amat “beraf’ deli negara in!, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena tanpa idealisme dan nasionalisme yang menjadi spirit jiwanya, guru-guru kita sama saja dengan para buruh di pabrik sepatu.
Guru-guru kita adalah guru-guru yang serba tertinggal: tertinggal !nforrnasi rnutakhir dalam bidangnya dan tertinggal teknoiogi. Ha! ml lebih nyata lagi dalam kehidupan guru-guru di daerah, di pedesaan dan pesisir, atau di daerah-daerah yang jauh dan kota. Segala rupa ketertinggalan itulah “diwariskan” kopada muridmurid di kelasnya. Murid pun dididik di tengah iklim panjang serba ketertinggalan.
Guru-guru Indonesia adalab guru-guru yang tidak rnau lag! belajar, membaca, dan berpikir. Sesuatu yang harus d!lakukan secara mandiri, yang harus dilakukan sebaga! kesadaran diii, yang harus dilakukan sebagai panggilan mulia.
Sejak mendapatkan nomor induk pegawal alias NIP, guru mernulai kehidupan di sekolah-sekolahnya dan di masyarakat ternpat mereka tinggab dengan stagnasi. Guru Indonesia tidak lag! belajar untuk dinnya sendiri, yang berkontribusi besar bag! muiid-mundnya. Guru Indonesia tidak lag! membaca buku, majalah atau surat kabar, apalagi melakukan akses internet. Kalau ditelusuri, guru pasti berkilah bahwa di daerahnya bertugas, bacaan, buku, koran, dan sejenisnya tidak mudah diperoleb. Apalagi internet. Guru awam komputer dan internet
Pemerintah Indonesia sadar, sernampu keuangan negara, kualitas guru senantiasa ditingkatkan. Misalnya dengan penyelenggaraan seminar-seminar, lokakarya, pelatihan, dan penataran. Di lapangan justru ditemukan kondisiyang sebaliknya; seminar, lokakarya, pelatihan itu menjadi ritual.
Ketika guru ditunjuk menjadi peserta, mereka sama sekali t!dak menyambutnya dengan kegairahan, tetapi dengan rasa malas. Jadi, guru tidak memiliki niat merernajakan dan mengembangkan dirinya sebagai SDM berkualitas. Hal lain, pada konteks in!, sambutan guru soal in! adalah, “Ada uang saku
Setelah di dalam kegiatan ilmiah atau di suatu pelatihan yang telah direncanakan dengan sebaik mungkin oleh panitia, guru-guru, peserta, mencampuri kela panitia. Akhimya, terjadilah pemadatan jadwal. Jika keinginan guru dituruti, kegiatan semacam itu dilakukan secara flktif saja. Guru-guru slap menandatangani daftar hadir. Hal mi sering kita temukan. Ide balk penyelenggaraan keg!atan peningkatan kualitas guru pun tidak pernah dicapai karena guru-guru selalu diberi fasilitas untuk meriolaknya.
Guru yang andal
Di balik kenyataan tersebut, bangsa in! masih memil!ki sedikit guru yang andal. Guru-guru yang penuh dedikasi bag! bangsa iiii. Guru-guru yang sadar akan pilihan profesinya, yang tidak henti belajar dan menjadikan guru sebagai pilihan profes!nya. Merekaadalah guru-guru yang menikmati pekerjaannya dan bertanggung jawab atas pilihannya sebagai guru. Mereka mi sama sekali tidak menganggap kerja guru sebagai sambilan. Guru-guru yang benar-benar bekerja secara total.
Pemerintah juga tidak berdalih dalam hal mutu guru-guru Indonesia. Pemerintah berbesar hat! mengakui bahwa kualitas guru Indonesia pada umumnya sangat rendah. Peningkatan kualitas guru adalah isu terpenting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Ujungnya adalah uji sertitikasi guru. Semula,


ketika çacfa awal ligulirkan, guru menyambutnya dengan gempita. Mereka memandang hal mi sebagai hak ism,wa bagi guru dan bersifat pemerataan bukan sebag& suatu kompetisi periingkatan Icarier atau harga mahal bagi suatu kualitas guru yang distandarkan. Pemerintah jtiga tidak gegabah dan tidak pemurah hat? dalam soal ml.
Di mata guru Indonesia pada umurnnya, uji sertifikasi adalah “evolusi peningkatan gaji guru. lrnlah yang dipahami oleh guru Indonesia. Padahal, ml ada)ah pthhan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa mi. Guru yang baqus mendapatkan “imbalan” atau penghargaan yang lebth nyata (berupa gaji yang dibayarkan) dan nijara, tidak lagi berupa simbol-simbol (lencana, piagam, trofi, dan lain-lain).
Dalam beberapa rninggu terakhir, sejumiab gum di Bali yang telah “ditunjuk” tengah menyiapkan satu portofolio dalam rangka uji sertifikasi. Ada sepuluh butir isian beserta nnciannya, harus pula dilampini buktibukti flsik yang sah. Portotollo itu merekam dan mendokumentasi kineija guru dalam suatu peniode. Hal mi tidak sulit jika gum benar-benar berdedikasi tiaggi dalam bidangnya
Yang patut dipertimbangkan adalah bagaimana tim penhlai portofolio itu bekerja. Apakah sanggup menembus etika buruk guru karena memalsukan suatu dokumen prestasi atau dokumen kinerjanya?
Guru malas menulis
Pada salah satu item portofoilo itu diminia agar guru menuliskan buku, diktat, serta modul pernbe)ajaran yang telah disusunnya minimal dalam satu semester dan telah diterbitkan di tingkat nasional, lokal, atau daerah. Hal itii sangat wilt dipenuhi karena guru paling antimenulis. Pokoknya, dalam butir “lcarya tulis” pasti banyak guru Indonesia yang gagal.
Kalau benar adanya bahwa sepuluh butir portofelio tersebut dan telah distandarkan, uji sertiflkasi guru tidaklah sesuatu yang sulit atau sesuatu yang tidak mungkin. Bagi guru yang belum menjalani uji sertifikasi, lima tahun ke depan harus menyiapkan din, bekerja dengan baik, menulis buku, menyelenggarakan penelitian, melakukan birnbingan terhadap teman sejawat, mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, dan lain- lain, yang dilakukan denii peningkatan kuahtas din dan persembahan terbaik kepada murid-muridnya.
Portofolio tersebut tidak bisa dilsi dalam setahun karena banyak butir yang diminta. Itu adalah rekaman atau dokumentasi kinerja guru. Itu dinilal atau dikaji oleh tim penhlai, lalu dihargal, untuk dicatat berapa poin yang dicapal. Poin itu, dalam perjalanannya, bisa bertambah bisa juga berkurarig, bergantung pada kinerja guru. Jadi, kehidupan guru-guru Indonesia dalam pekerjaannya menjadi Iebih dinamis dan tidak stagnan sebagaimana saat ml.
Di sinii, guru harus mengubah pandangannya seal sertifikasi. Bukan gaji tinggi sebagal yang pertama, melainkan kinerja yang hebat, bernilal tinggi, dan inhlah yang patut kiranya dihargai mahal of eh negara. Dalam hat mi, negara berasumsi, semua itu akan berdampak sangat baik terhadap pen ingkatan mutu pendidikan bangsa.

Tidak ada komentar: